BIODATA
1. Nama : Angkie Yudistia
2. Tanggal
Lahir : 5 Juni 1987
PERJALANAN HIDUP
MASA KECIL
Ketika masih
kecil, Angkie sering berpindah tempat tinggal karena tuntutan dinas ayahnya.
Mulai dari Medan, Bogor, hingga daerah-daerah lainnya di Indonesia. Meski hidup
berpindah-pindah, masa kecil saya sangat menyenangkan, terlebih karena tidak
pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orangtua dan kakak. Tetapi Angkie
kecil merupakan seorang anak yang seringkali sakit. Walaupun sakit seperti flu,
batuk, dan demam. Untuk mengobatinya, dokter sering member obat antibiotic
secara rutin sampai penyakitnya hilang. Saat duduk di kelas 2 SD, Angkie
seringkali sulit mendengar kata-kata dikte-an guru sekolahnya dengan jelas. Hal
yang sama terjadi saat teman-teman memanggil namanya. Meskipun dengan teriak.
Hingga pada akhirnya teman-temannya sebal dan jarang memanggil atau mengajak
Angkie mengobtol atau bermain saat istirahat sekolah. Sebagai anak yang dekat
dengan ibunya, Angkie selalu bercerita kepada ibunya perihal teman-temannya
yang tidak ingin bermain dengannya lagi. Degan sabar ibu mendengarkan cerita
Angkie, lalu merespon dengan kata-kata bijak yang menenangkan. Beliau juga
selalu mengingatkan Angkie untuk tidak boleh marah dan selalu sabar menghadapi
sikap teman-teman--yang menurut Angkie--menyebalkan. Suatu saat, setelah pulang
sekolah, Angkie diajak ibunya untuk pergi ke sebuah rumah sakit. Angkie yang
saat itu masih kecil, sempat merasa bingung, karena ia merasa sehat-sehat saja.
Sesampainya di rumah sakit, ketika ditanya namanya oleh dokter, Angkie tidak
dapat mendengarnya dengan jelas. Lalu Angkie pun diperiksa oleh dokter, selama
kurang lebih 30 menit, yang disebut juga pemeriksaan audiologi. Setelah Angkie pulang dan sampai di rumah, Angkie
diberitahu hasil pemeriksaan dokter, yang memvonis bahwa dirinya adalah seorang
tuna rungu. Awalnya Angkie kecil yang masih polos ini mengiria, bahwa sakit
yang didapatnya ini sama seperti penyakit yang sering ia alami sebelumnya. Dan
semenjak itu orangtua Angkie tidak lagi memberikan obat yang biasa ia minum.
Vonis tuna rungu dari dokter menjadi pukulan bagi Angkie, juga keluarganya.
Terlebih lagi ibunya. Beliau seringkali terlihat bersedih karena rasa bersalah
berlebihan. Selama 6 tahun, setiap hari Sabtu dan Minggu, Angkie melakukan
pemeriksaan oleh beragam dokter, hingga pengobatan tradisional. Sayangnya,
tidak ada pengobatan yang cocok untuk saat itu. Akhirnya saat Angkie berusia 16
tahun, orangtuanya membawanya ke sebuah klinik dan mulai memakaikan telinganya
dengan sebuah alat bantu dengar atau yang disebut dengan hearing aid. Sebelum orangtuanya memutuskan untuk menggunakan alat
bantu dengar, selama 6 tahun Angkie hidup dalam kesunyian. Di sekolah Angkie
menjadi seseorang yang minder karena dikucilkan dengan tatapan aneh oleh
teman-temannya.
MASA REMAJA
Pada saat awal
menggunakan alat bantu dengar, Angkie merasakan kejanggalan. Alat bantu dengar
yang ia gunakan membuatnya dapat mendengar suara-suara aneh yang sebelumnya
lama menghilang. Seperti contoh, Angkie dapat mendengar suara knalpot motor dan
motor yang sedang kebut-kebutan, padahal ia sedang berada di dalam kamar yang
jaraknya 1 km dari jalan raya. Namun lambat laun, Angkie mulai terbiasa dengan
alat bantu dengar, bahkan saat ia berada di bangku SMP dan SMA. Pada saat ini
Angkie sudah mulai menghilangkan rasa minder Seseorang telah meyakinkan Angie bahwa
kekurangan fisiknya kelak akan menjadi kelebihan.
akibat cacian atau julukan miring dari teman-teman di sekolah. Hal ini dikarenakan Angkie tetap disekolahkan di sekolah umum. Orangtuanya tidak bermaksud untuk membedakan Angkie, karena mereka ingin Angkie mendapatkan pendidikan dan disiplin selayaknya teman-teman lain. Menuntut ilmu di sekolah umum dianggap oleh keluarga Angkie melatih mental Angkie sebagai bekal menjalani hidup nantinya, meskipun di sekolah Angkie menjadi tempat datangnya cacian dari orang-orang yang merasa lebih sempurna dari Angkie. Angkie yang kala itu masih remaja, mengalami depresi. Tetapi disamping depresi tersebut, ia mendapat saran dari seseorang. Sarannya adalah untuk bertanya kepada sang Pencipta mengapa keadaannya seperti itu. Dan menurut seseorang tersebut, daripada Angkie uring-uringan, lebih baik Angkie menerima kekurangan fisik tersebut.
akibat cacian atau julukan miring dari teman-teman di sekolah. Hal ini dikarenakan Angkie tetap disekolahkan di sekolah umum. Orangtuanya tidak bermaksud untuk membedakan Angkie, karena mereka ingin Angkie mendapatkan pendidikan dan disiplin selayaknya teman-teman lain. Menuntut ilmu di sekolah umum dianggap oleh keluarga Angkie melatih mental Angkie sebagai bekal menjalani hidup nantinya, meskipun di sekolah Angkie menjadi tempat datangnya cacian dari orang-orang yang merasa lebih sempurna dari Angkie. Angkie yang kala itu masih remaja, mengalami depresi. Tetapi disamping depresi tersebut, ia mendapat saran dari seseorang. Sarannya adalah untuk bertanya kepada sang Pencipta mengapa keadaannya seperti itu. Dan menurut seseorang tersebut, daripada Angkie uring-uringan, lebih baik Angkie menerima kekurangan fisik tersebut.
KELUARGA TERHADAP ANGKIE
Kedua
orangtua Angkie sadar akan pandangan miring teman-teman Angkie terhadap Angkie.
Mereka jelas tidak terima dan tidak tega melihat anaknya merasa dikucilkan,
apalagi dipandang sebelah mata karena memiliki keterbatasan. Maka dari itu,
keluarga besar dari pihak bapak dan ibu Angkie berbaik hati dan tidak memandang
keterbatasan Angkie sebagai sebuah aib. Mereka semua berusaha untuk tidak
mengucilkan hati Angkie. Mereka yakin bahwa keterbatasan Angkie hanyalah
persoalan medis semata.
KEGIATAN ANGKIE DALAM BERORGANISASI
Tanggal
29 Maret hingga 1 April 2010 yang lalu Kementrian Sosial Republik Indonesia
menyelenggarakan sebuah pertemua akbar. Pertemuan itu sendiri merupakan sebuah
ajang Penyusunan Bahan Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak
Penyandang Cacat. Pertemuan ini diadakan di Grand Setiabudhi Hotel – Bandung. Pertemuan
ini membahas tentang penggantian istilah “Penyandang Cacat” menjadi “Penyandang
Disabilitas”.
SEKARANG
Kini, Angkie
telah menjadi seorang perempuan mandiri melalui beragam pengalaman yang pernah
diraihnya, antara lain berhasil menyelesaikan S2 Marketing Communication di The London School of Public Relations
Jakarta, menjadi salah satu finalis Abang None 2008 Jakarta Barat, berhasil
terpilih sebagai The Most Fearless Female
Cosmopolitan 2008, menjadi Miss
Congeniality dari Natur-e, hingga berkair sebagai Corporate Public Relations.
Angkie
juga aktif membantu Yayasan Tuna Rungu Sehjira bersama perempuan penyandang
disabilitas lainnya; berbagi pengalaman untuk dapat menerima keterbatasan dan
memaksimalkan segala potensi yang dimiliki serta sering menjadi pembicara untuk
isu penyandang disabilitas.
Saat ini, Angkie
beserta rekan, tengah mendirikan Thisable
Enterprise yang peduli terhadap permasalahan social dengan menggunakan
kemampuan entrepreneurship, untuk
melakukan perubahan social (social change);
meliputi pemberdayaan teman-teman penyandang disabilitas di Indonesia.
HAL MENARIK:
·
Angkie pernah diolok-olok sebagai utusan alien
dan juga secret agent karena
menggunakan alat bantu dengar.
·
Angkie juga seringkali ditertawai layaknya
seorang komedian karena sering bicara terbata-bata.
·
Angkie mencoba berjalan anggun seperti foto
model di koridor sekolah, dan ketika itu banyak orang yang melilhatnya dengan
pandangan tidak suka, yang pada akhirnya membuat Angkie menjadi minder.
·
Angkie merasa bahwa ia perlu sering-sering
mengajukan pertanyaam, ‘Kenapa saya punya keterbatasan?’, karena dengan begitu
Angkie menjadi semakin termotivasi untuk terus bersabar dan membesarkan hati.
·
Angkie merasa bahwa dari cemooh, ia mendapatkan
pelajaran baru, terutama untuk meningkatkan rasa percaya diri dan keberanian.
QUOTE:
- · Sukses tidak dilihat dari seberapa banyak harta kita, tapi bagaimana kita dapat menghadapi segala bentuk permasalahan hidup.
- · Dream what you want to dream, go where you want to go, be what you want to be, because you have only one chance to do all things you want in life!
Yudistia, Angkie. Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas. Jakarta: Upnormals Publishing, 2011.